Friday 16 May 2014

masihkah kau menganggapku kawan?

Kawan, masihkah kau menganggapku kawan?


Aku takut, kamu telah banyak berubah dan itu membuatmu tidak lagi menganggap penting persahabatan kita. Kau tau, rasanya lebih menyakitkan kehilangan seorang teman daripada seorang kekasih.
Kemana kau setiap aku mengajakmu bertemu? Dengan banyak sekali alasan, kadang tak masuk akal, kau menolak bertemu denganku. Kemana kau? Padahal ku tau kau memiliki waktu luang. Bahkan sering ku kehilangan kabar dari mu. Sayup-sayup saja, ku dengar kau telah berlari menjauh. Aku takut kau benar-benar meninggalkan ku. Apakah yang ku takutkan itu telah terjadi?
Ya, kau memang telah berlari, cepat sekali meninggalkanku. Sudah sukseskah dirimu? Mungkin, hingga tak kau hiraukan lagi diriku. Apa? Kau bilang aku yang melupakanku? Bagaimana bisa sedang aku yang selalu mencari kabarmu dahulu disela-sela angin. Sedang aku yang selalu memaksamu meluangkan waktu untuk kita bercengkrama barang sedetik. Meskipun pada akhirnya kau tetap saja menolak.
Aku tau semua orang berubah, aku juga. Setiap orang berubah. Tapi aku selalu berusaha menjadi orang yang sama seperti aku saat kita pertama kali bertemu, aku yang kamu kenal bukan aku yang telah berubah. Ku harap kau segera menyadari hal itu, bahwa aku tak ingin kau pergi kawan, sungguh. Kau mungkin hanya belum sadar bahwa kau begitu berharga untukku, di hidupku.



Ponjong, 16 Mei 2014


Sunday 11 May 2014

Jauh jauhlah

Jika aku kamu, dan kamu adalah aku. Aku pasti sudah sejak lama meninggalkanmu.
Tapi aku tetaplah aku, yang selalu memasang muka patung dihadapanmu. Tanpa ekspresi, tanpa perasaan, dan memang seperti itu inginku. Aku menjaga perasaanku tetap hambar padamu dengan terus mempertahankan jarak yang kita ada diantara kita saat ini. Bersikap dingin dan tidak menunjukkan minat sedikitpun, tidak peduli dan sengaja mengacuhkanmu.

Semua itu kulakukan dengan sengaja dan bukan tanpa maksud apapun. Aku hanya ingin mempertahankan hubungan kita tetap seperti ini, hambar. Ego ku terlalu angkuh untuk kau rengkuh. Jangan berikan apapun padaku, karena aku tidak akan menerimanya, apalagi membalasnya. Jangan berharap apapun, sedikitpun padaku.

Kau bilang aku sengaja memasang pagar, ku pikir kau benar. Kau bilang aku harus membuka pintuku, akan ku buka tapi bukan untukmu. Kau bilang ingin bertamu? Yang benar saja, hatiku tidak pernah menerima tamu. Rumahku ku bangun untuk imamku, bukan hanya sekedar untuk kawan bertamu. Jauh jauhlah.

Pagar

Ku bangun dengan seluruh ego yang berhasil aku kumpulkan
dari sisa-sisa reruntuhan jembatan yang telah jatuh
Darinya ku rangkai pagar tebal yang tidak akan bisa tertembus
oleh cahaya sekalipun, apalagi olehmu
Sekalipun ku taruh sebuah pintu
itu bukanlah untukmu
Semakin kuat kau berusaha menerobos masuk
berkali-kali lipat aku bangun pagarku lebih tebal
Hingga udarapun tak lagi sanggup menyusup
Lalu akhirnya aku akan mati
Mati rasa
Rasa cinta
Jatuh cinta